Selasa, 25 Oktober 2011

Danau Cipanon


Danau Cipanon*

            Malam ini begitu hening. Memang, dalam keheningan seperti malam ini ia bisa mencapai keheningan hati. Jika sudah begitu ia akan merasa menyatu dengan Sang Hyang, pencipta langit dan bumi. Tidak lagi harus berpusing memikirkan duniawi. Untuk itu selalu ia berkelana menelusuri sungai, masuk hutan dan menanjaki bebukit yang jauh dari hiruk-pikuk manusia. Semua dilakukan dengan ikhlas hati.
            Banyak tempat yang telah ia lalui dan beberapa untuk disinggahi, namun di tempat ini ia merasa begitu dekat dengan Sang Hyang. Dalam hitungannya, ia telah singgah di sini selama dua purnama. Ia hapal betul dan tak mungkin salah, karena saat purnama tiba ia bisa melihat kekuasaan Sang Hyang. Tak pernah ia singgah di satu tempat dalam jangka waktu yang panjang. Dan malam ini merupakan purnama ketiga.
            Malam ini keyakinan untuk melihat keajaiban itu muncul kembali. Lama hatinya menunggu peristiwa sakral itu. Namun, tak ada yang terjadi sama sekali, hanya sekali-kali kalong lewat di hadapannya. Mata yang sudah renta itu melihat dengan seksama rumah-rumah di kaki bukit. Walaupun sudah renta, mata itu seperti masih balita karena sesungguhnya mata yang digunakan untuk melihat hal-hal baik akan selalu tajam.
            Angin bertiup dingin menembus kulit, menusuk rangka*. Jangkrik, tonggeret*, dan segala serangga seolah merayakan cahaya rembulan yang turun menyusuri lantai-lantai hutan, menciptakan suasana tentram. Jauh di dalam hutan terdengar ramai anjing-anjing yang melolong, melantunkan pepujian. Di bawah bukit, ada beberapa rumah dengan cahaya damar yang berpendar-pendar seperti kunang-kunang hinggap di pepucuk ilalang. Lalu tiba-tiba dari atap rumah-rumah itu sesuatu membumbung. Seperti asap. Begitu besar dan pekat. Cahaya rembulan yang purnama memperjelas rupa asap itu. Serupa kebakaran yang menghanguskan ladang, namun tak ada api di sana. Hanya beberapa damar yang berpendar tertiup angin. 
            Hatinya ingin bertanya. Tetapi pada siapa? Dirinya hanya seorang diri, duduk di atas batu besar. Matanya bulat tak berkedip, tak mau ketinggalan satu detik pun peristiwa yang menurutnya sakral itu. “Itu pasti kekuasaan Sang Hyang yang ditunjukkan untuk menegaskan keagungan-Nya” ucapnya dalam hati. Keingintahuan yang telah terpendam selama dua purnama menciptakan keteguhan dalam dirinya untuk turun bukit esok hari. Ketika asap itu hilang, ia kembali pada posisi duduk bersila, kedua tangannya diletakan di depan dada dan matanya dipejamkan. Hatinya melantunkan doa, berusaha mencapai kesatuan dengan Dewata.
            Embun dengan lembut turun dari puncak bukit melalui pucuk-pucuk pohon lalu jatuh di pelupuk mata. Ayam jago menyahuti panggilan fajar di timur. Sang petapa sadar bahwa pagi telah menggerayangi kampung, karena samar-samar terlihat orang-orang mulai melakukan kesehariannya. Yang lelaki bersiap pergi ke sawah atau ladang, sedangkan yang perempuan pergi ke pasar, sebagian mencari kayu bakar ke hutan atau sekadar menumbuk.
            Sang petapa berjalan dengan perlahan menyusuri jalan setapak yang basah oleh embun. Burung-burung sudah sibuk melayang mencari makan untuk anak-anaknya. Ada juga kalong yang kesiangan, terbang terbirit-birit mencari dahan untuk tidur. Jalan yang ia lalui cukup curam dengan batu yang licin oleh lumut. Dengan hati-hati ia melangkah sambil komat-kamit berdoa. Ketika kalangkang* sudah setengah badan, ia baru sampai di perkampungan.
            Semua rumah di perkampungan itu hampir memiliki keadaan yang sama; beratapkan rumbia, berdinding ayaman bambu. Tak ada yang berbeda dengan kampung lain, begitu sederhana. Entah kenapa setiap orang yang dilaluinya bermata sembab, seperti usai menangis. Mata laki-laki, perempuan, bocah maupun yang tua. Apa gerangan yang telah terjadi di sini?
            Sang petapa terus berjalan melewati perkampungan, lalu ke pasar. Ia tak berhenti di sana, karena sesuatu tak jauh dari pasar menarik perhatiannya. Sebuah rumah besar berdinding bata merah berdiri kokoh dengan halaman yang sangat luas. Pasti tuan rumah ini makmur adanya, katanya dalam hati. Rumah ini tak terlihat di atas bukit tempatnya bersemedi, karena bermacam pohon buah di halaman telah menutupinya. Tiba-tiba ia terkejut karena pundaknya ditepuk seseorang.
“Apa yang sedang Aki lakukan di sini? Jika Aki lapar mari ke rumah saya saja. Mari Ki!” kata seorang laki-laki, sedari tadi ia memperhatikan sang petapa berdiam di depan pagar rumah besar itu.
“Ah…tidak. Saya tidak lapar. Siapakah tuan dari rumah yang indah ini.” tanya sang petapa.
Sebelum menjawab, laki-laki itu memapah sang petapa sampai di rumahnya yang tak jauh dari sana. Lalu setelah duduk berdampingan di teras rumah, laki-laki itu mulai berkisah.
“Itu rumah milik Nyi Endit, tuan tanah sekaligus tengkulak di kampung ini. Setiap kami panen, Nyi Endit selalu memaksa kami untuk menjual hasil panen kepadanya. Kalau tidak, kami akan dihajar oleh centeng-centengnya. Ketika persediaan makanan kami berkurang, kami harus membelinya kepada Nyi Endit dengan harga yang berlipat. Bukankah itu kejam? Oleh karena itu kami selalu kekurangan. Tidakkah Aki lihat mata orang kampung? Setiap malam anak-anak menangis karena lapar, sang ibu yang tidak tega melihat anaknya pun ikut menangis, sedangkan si bapak hanya bisa berdoa kepada Sang Hyang sepanjang malam. Sungguh, tidak manusiawi.” Wajah laki-laki itu penuh amarah, tetapi sesaat kemudian kembali melunak karena sadar kalau di sampingnya ada seorang tamu. Di hadapan mereka telah terhidang beberapa makanan ringan.
“Silahkan, dimakan Ki! Kalau boleh tahu, Aki ini dari mana? Dan akan ke manakah tujuan Aki?” tuan rumah menjamu dengan tamunya.
“Aki hanya seorang tua yang tak punya tempat tujuan untuk pulang. Aki hanya melangkah mengikuti garis takdir Sang Hyang” jawabnya sederhana. Perbincangan terus berlangsung. Banyak cerita disampaikan laki-laki itu tentang Nyi Endit dan orang-orang kampungnya. Ternyata ia adalah kepala kampung tersebut.
            Dengan sigap sang petapa berdiri. Terlihat di wajahnya ada kepuasan karena pertanyaannya selama ini telah terjawab, tetapi ada ketidakpercayaan akan cerita tentang Nyi Endit yang kejam. Apakah benar ada manusia yang kelam seperti itu?
            Melihat tamunya akan pergi laki-laki itu merogoh sakunya. Kemudian menyerahkan beberapa uang kepadanya. Sang petapa menolaknya dengan bijak, karena ia tahu bahwa laki-laki baik yang sudah menjamunya pasti membutuhkan uang itu. Kemudian ia  mohon pamit.
            Ternyata sang petapa itu mendatangi kediaman Nyi Endit. Nyi Endit terperangah melihat seseorang masuk ke halamannya. Lalu didampingi centengnya, ia menghadang.
“Hai, pengemis tua! Apa yang kau lakukan di sini?” bentak Nyi Endit.
“Aki hanya ingin meminta sedikit sedekah untuk makan, Nyai.” katanya dengan sedikit lemas.
“Apa? Sedekah! Sudah pergi! Aku tak mau halamanku kotor oleh kakimu!” dengan kasar Nyi Endit mengusirnya. Dengan amarah, tangannya merebut tongkat yang dipegang si centeng, lalu dilemparkan ke arah sang petapa. Tongkat itu mengenai tubuh sang petapa. Sungguh benar adanya cerita laki-laki tadi. Wanita ini memang tak tahu adat. Diambilnya tongkat itu, diangkatnya tinggi-tinggi.
“Wahai, kau Nyi Endit! Sebelumnya aku tidak percaya dengan cerita yang kudengar mengenai peringaimu. Namun, sekarang aku sungguh-sungguh percaya bahwa kau bukan hanya tidak berbelaskasihan tetapi kau juga kejam! Tak berhati! Tidak tahukah kau bahwa orang-orang yang tinggal di sekitarmu itu menderita karena peringaimu. Setiap malam orang-orang kampung menangis karena lapar. Bahkan kau takkan bisa menampung airmata mereka dengan apa pun. Hanya Sang Hyang mampu menampungnya. Setiap purnama airmata itu berubah menjadi kabut yang membumbung ke langit. Ya…hanya luas langit yang bisa menampung airmata mereka.” kata sang petapa berapi-api.
“Kau pikir siapa dirimu, hai pengemis tua?” bentak Nyi Endit tak mau kalah, “Hei, kalian usir kakek tua ini!” ia memberi perintah kepada centeng-centeng. Namun, ceneng-centengnya terpaku menatap langit, karena tiba-tiba saja langit menjadi mendung dan gurilap* menghiasi. Suara guludug* mengelegar. Langit seperti mengetahui hati sang petapa yang penuh amarah.
“Sekarang kau akan tahu, berapa banyak airmata orang kampung yang telah jatuh karena dirimu! Kau akan merasakan karma dari ulahmu!” lanjut sang petapa yang menghilang sekejap. Disusul angin yang bertiup kencang. Beberapa pohonan yang tumbuh di halaman tumbang sebab tak kuat diterjang angin. Hujan turun dengan deras. Seperti air terjun yang jatuh menimpa batu. Rumah Nyi Endit sedikit demi sedikit porak-poranda. Nyi Endit merasakan ketakutan yang dasyat dalam dirinya. Kini centeng-centengnya pun tak bisa berbuat apa-apa. Dengan panik Nyi Endit masuk ke dalam rumah untuk menyelamatkan perhiasan yang disimpan di kamar dan beberapa harta benda berharga lainnya. Ketika ke luar rumah, Nyi Endit tak melihat centeng-centengnya. “Mereka pasti kabur. Dasar kecoa penakut!” ia berlari hendak menyelamatkan diri.  Namun air hujan yang begitu deras telah menciptakan air bah yang makin deras dan tinggi. Bagai sebuah tanggul yang hancur, air menyapu rumah dan menghempas tubuh Nyi Endit. Ia tergulung air dan tenggelam. Sang Hyang adalah Maha Kuasa. Dengan kuasa-Nya, Ia tampung airmata para bocah dan perempuan yang mengabut bersama doa-doa pasrah di langit. Dan hari ini Ia menunjukkan keagungan-Nya dengan menurunkannya bersama hujan.
                                   

Rumah kedua, Juli 2009


* Cipanon :  airmata
 Tonggeret : serangga yang berbunyi nyaring
 Kalangkang : bayangan
 Gurilap : kilat; guluduk : halilintar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar