Danau Cipanon*
Malam
ini begitu hening. Memang, dalam keheningan seperti malam ini ia bisa mencapai
keheningan hati. Jika sudah begitu ia akan merasa menyatu dengan Sang Hyang,
pencipta langit dan bumi. Tidak lagi harus berpusing memikirkan duniawi. Untuk itu
selalu ia berkelana menelusuri sungai, masuk hutan dan menanjaki bebukit yang jauh
dari hiruk-pikuk manusia. Semua dilakukan dengan ikhlas hati.
Banyak
tempat yang telah ia lalui dan beberapa untuk disinggahi, namun di tempat ini
ia merasa begitu dekat dengan Sang Hyang. Dalam hitungannya, ia telah singgah
di sini selama dua purnama. Ia hapal betul dan tak mungkin salah, karena saat
purnama tiba ia bisa melihat kekuasaan Sang Hyang. Tak pernah ia singgah di
satu tempat dalam jangka waktu yang panjang. Dan malam ini merupakan purnama ketiga.
Malam
ini keyakinan untuk melihat keajaiban itu muncul kembali. Lama hatinya menunggu
peristiwa sakral itu. Namun, tak ada yang terjadi sama sekali, hanya
sekali-kali kalong lewat di hadapannya. Mata yang sudah renta itu melihat dengan
seksama rumah-rumah di kaki bukit. Walaupun sudah renta, mata itu seperti masih
balita karena sesungguhnya mata yang digunakan untuk melihat hal-hal baik akan
selalu tajam.
Angin
bertiup dingin menembus kulit, menusuk rangka*. Jangkrik, tonggeret*, dan segala serangga seolah merayakan cahaya rembulan
yang turun menyusuri lantai-lantai hutan, menciptakan suasana tentram. Jauh di
dalam hutan terdengar ramai anjing-anjing yang melolong, melantunkan pepujian. Di
bawah bukit, ada beberapa rumah dengan cahaya damar yang berpendar-pendar
seperti kunang-kunang hinggap di pepucuk ilalang. Lalu tiba-tiba dari atap
rumah-rumah itu sesuatu membumbung. Seperti asap. Begitu besar dan pekat.
Cahaya rembulan yang purnama memperjelas rupa asap itu. Serupa kebakaran yang
menghanguskan ladang, namun tak ada api di sana. Hanya beberapa damar yang
berpendar tertiup angin.
Hatinya
ingin bertanya. Tetapi pada siapa? Dirinya hanya seorang diri, duduk di atas
batu besar. Matanya bulat tak berkedip, tak mau ketinggalan satu detik pun
peristiwa yang menurutnya sakral itu. “Itu pasti kekuasaan Sang Hyang yang
ditunjukkan untuk menegaskan keagungan-Nya” ucapnya dalam hati. Keingintahuan
yang telah terpendam selama dua purnama menciptakan keteguhan dalam dirinya
untuk turun bukit esok hari. Ketika asap itu hilang, ia kembali pada posisi
duduk bersila, kedua tangannya diletakan di depan dada dan matanya dipejamkan.
Hatinya melantunkan doa, berusaha mencapai kesatuan dengan Dewata.
Embun
dengan lembut turun dari puncak bukit melalui pucuk-pucuk pohon lalu jatuh di
pelupuk mata. Ayam jago menyahuti panggilan fajar di timur. Sang petapa sadar
bahwa pagi telah menggerayangi kampung, karena samar-samar terlihat orang-orang
mulai melakukan kesehariannya. Yang lelaki bersiap pergi ke sawah atau ladang,
sedangkan yang perempuan pergi ke pasar, sebagian mencari kayu bakar ke hutan
atau sekadar menumbuk.
Sang
petapa berjalan dengan perlahan menyusuri jalan setapak yang basah oleh embun.
Burung-burung sudah sibuk melayang mencari makan untuk anak-anaknya. Ada juga
kalong yang kesiangan, terbang terbirit-birit mencari dahan untuk tidur. Jalan
yang ia lalui cukup curam dengan batu yang licin oleh lumut. Dengan hati-hati
ia melangkah sambil komat-kamit berdoa. Ketika kalangkang* sudah setengah badan, ia baru sampai di perkampungan.
Semua
rumah di perkampungan itu hampir memiliki keadaan yang sama; beratapkan rumbia,
berdinding ayaman bambu. Tak ada yang berbeda dengan kampung lain, begitu
sederhana. Entah kenapa setiap orang yang dilaluinya bermata sembab, seperti usai menangis. Mata laki-laki, perempuan,
bocah maupun yang tua. Apa gerangan yang telah terjadi di sini?
Sang
petapa terus berjalan melewati perkampungan, lalu ke pasar. Ia tak berhenti di
sana, karena sesuatu tak jauh dari pasar menarik perhatiannya. Sebuah rumah
besar berdinding bata merah berdiri kokoh dengan halaman yang sangat luas. Pasti
tuan rumah ini makmur adanya, katanya dalam hati. Rumah ini tak terlihat di
atas bukit tempatnya bersemedi, karena bermacam pohon buah di halaman telah
menutupinya. Tiba-tiba ia terkejut karena pundaknya ditepuk seseorang.
“Apa yang sedang Aki lakukan di sini? Jika
Aki lapar mari ke rumah saya saja. Mari Ki!” kata seorang laki-laki, sedari
tadi ia memperhatikan sang petapa berdiam di depan pagar rumah besar itu.
“Ah…tidak. Saya tidak lapar. Siapakah tuan
dari rumah yang indah ini.” tanya sang petapa.
Sebelum menjawab, laki-laki itu memapah
sang petapa sampai di rumahnya yang tak jauh dari sana. Lalu setelah duduk
berdampingan di teras rumah, laki-laki itu mulai berkisah.
“Itu rumah milik Nyi Endit, tuan tanah
sekaligus tengkulak di kampung ini. Setiap kami panen, Nyi Endit selalu memaksa
kami untuk menjual hasil panen kepadanya. Kalau tidak, kami akan dihajar oleh
centeng-centengnya. Ketika persediaan makanan kami berkurang, kami harus membelinya
kepada Nyi Endit dengan harga yang berlipat. Bukankah itu kejam? Oleh karena
itu kami selalu kekurangan. Tidakkah Aki lihat mata orang kampung? Setiap malam
anak-anak menangis karena lapar, sang ibu yang tidak tega melihat anaknya pun
ikut menangis, sedangkan si bapak hanya bisa berdoa kepada Sang Hyang sepanjang
malam. Sungguh, tidak manusiawi.” Wajah laki-laki itu penuh amarah, tetapi sesaat
kemudian kembali melunak karena sadar kalau di sampingnya ada seorang tamu. Di
hadapan mereka telah terhidang beberapa makanan ringan.
“Silahkan, dimakan Ki! Kalau boleh tahu,
Aki ini dari mana? Dan akan ke manakah tujuan Aki?” tuan rumah menjamu dengan
tamunya.
“Aki hanya seorang tua yang tak punya
tempat tujuan untuk pulang. Aki hanya melangkah mengikuti garis takdir Sang
Hyang” jawabnya sederhana. Perbincangan terus berlangsung. Banyak cerita disampaikan
laki-laki itu tentang Nyi Endit dan orang-orang kampungnya. Ternyata ia adalah
kepala kampung tersebut.
Dengan
sigap sang petapa berdiri. Terlihat di wajahnya ada kepuasan karena pertanyaannya
selama ini telah terjawab, tetapi ada ketidakpercayaan akan cerita tentang Nyi
Endit yang kejam. Apakah benar ada manusia yang kelam seperti itu?
Melihat
tamunya akan pergi laki-laki itu merogoh sakunya. Kemudian menyerahkan beberapa
uang kepadanya. Sang petapa menolaknya dengan bijak, karena ia tahu bahwa
laki-laki baik yang sudah menjamunya pasti membutuhkan uang itu. Kemudian ia mohon pamit.
Ternyata
sang petapa itu mendatangi kediaman Nyi Endit. Nyi Endit terperangah melihat seseorang
masuk ke halamannya. Lalu didampingi centengnya, ia menghadang.
“Hai, pengemis tua! Apa yang kau lakukan
di sini?” bentak Nyi Endit.
“Aki hanya ingin meminta sedikit sedekah
untuk makan, Nyai.” katanya dengan sedikit lemas.
“Apa? Sedekah! Sudah pergi! Aku tak mau
halamanku kotor oleh kakimu!” dengan kasar Nyi Endit mengusirnya. Dengan amarah,
tangannya merebut tongkat yang dipegang si centeng, lalu dilemparkan ke arah
sang petapa. Tongkat itu mengenai tubuh sang petapa. Sungguh benar adanya
cerita laki-laki tadi. Wanita ini memang tak tahu adat. Diambilnya tongkat itu,
diangkatnya tinggi-tinggi.
“Wahai, kau Nyi Endit! Sebelumnya aku
tidak percaya dengan cerita yang kudengar mengenai peringaimu. Namun, sekarang
aku sungguh-sungguh percaya bahwa kau bukan hanya tidak berbelaskasihan tetapi
kau juga kejam! Tak berhati! Tidak tahukah kau bahwa orang-orang yang tinggal
di sekitarmu itu menderita karena peringaimu. Setiap malam orang-orang kampung
menangis karena lapar. Bahkan kau takkan bisa menampung airmata mereka dengan
apa pun. Hanya Sang Hyang mampu menampungnya. Setiap purnama airmata itu
berubah menjadi kabut yang membumbung ke langit. Ya…hanya luas langit yang bisa
menampung airmata mereka.” kata sang petapa berapi-api.
“Kau pikir siapa dirimu, hai pengemis
tua?” bentak Nyi Endit tak mau kalah, “Hei, kalian usir kakek tua ini!” ia
memberi perintah kepada centeng-centeng. Namun, ceneng-centengnya terpaku
menatap langit, karena tiba-tiba saja langit menjadi mendung dan gurilap* menghiasi. Suara guludug* mengelegar. Langit seperti
mengetahui hati sang petapa yang penuh amarah.
“Sekarang kau akan tahu, berapa banyak
airmata orang kampung yang telah jatuh karena dirimu! Kau akan merasakan karma
dari ulahmu!” lanjut sang petapa yang menghilang sekejap. Disusul angin yang
bertiup kencang. Beberapa pohonan yang tumbuh di halaman tumbang sebab tak kuat
diterjang angin. Hujan turun dengan deras. Seperti air terjun yang jatuh
menimpa batu. Rumah Nyi Endit sedikit demi sedikit porak-poranda. Nyi Endit
merasakan ketakutan yang dasyat dalam dirinya. Kini centeng-centengnya pun tak
bisa berbuat apa-apa. Dengan panik Nyi Endit masuk ke dalam rumah untuk
menyelamatkan perhiasan yang disimpan di kamar dan beberapa harta benda
berharga lainnya. Ketika ke luar rumah, Nyi Endit tak melihat
centeng-centengnya. “Mereka pasti kabur. Dasar kecoa penakut!” ia berlari
hendak menyelamatkan diri. Namun air hujan yang begitu deras telah
menciptakan air bah yang makin deras dan tinggi. Bagai sebuah tanggul yang
hancur, air menyapu rumah dan menghempas tubuh Nyi Endit. Ia tergulung air dan
tenggelam. Sang Hyang adalah Maha Kuasa. Dengan
kuasa-Nya, Ia tampung airmata para bocah dan perempuan yang mengabut bersama
doa-doa pasrah di langit. Dan hari ini Ia menunjukkan keagungan-Nya dengan menurunkannya
bersama hujan.
Rumah kedua, Juli 2009
*
Cipanon : airmata
Tonggeret : serangga yang berbunyi nyaring
Kalangkang : bayangan
Gurilap : kilat; guluduk : halilintar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar