Ditumbalkan Kota
Raya
Ia berjalan gontai
menantang kuasa hari. Tangannya begitu kuat menggenggam nasib yang terselip di
map cokelat. Kemeja tak lagi menampakkan kerapihan setrika atau pun wangi sekedar
minyak murah, yang dipakainya nampak seperti kertas koran yang sudah dibaca bertahun
lalu. Kemeja itu didapat dari lemari ayah yang ia bongkar sewaktu mencari uang secara
diam-diam. Kenangan itu sering masuk ke dalam kepalanya lalu menerjang hati. Perih.
Sebenarnya ayah dan ibu tidak setuju apabila ia harus pergi. Apalagi harus
memboyong istri dan anak semata wayangnya.
“Pokoknya saya akan tetap membawa Sarifah dan Imam
bersama saya” Juhaeri bersikukuh.
“Apa kamu tidak tahu kalau hidup di sana itu sulit.
Kalian mau tinggal di mana? Bagaimana dengan sekolah Imam?” cegah ayahnya. Ibu
Juhaeri hanya bisa memeluk menantu dan cucunya yang ketakutan. Mereka bertiga
duduk di bale-bale bersebelahan dengan kedua laki-laki yang sedang
dicengkram ego.
“Bapak, tidak usah khawatir. Saya sudah mengontrak satu
buah rumah di sana. Kalau sekolah Imam kan bisa diurus nanti kalau sudah
pindah.” melontarkan alasan-alasan, tak mau kalah.
“Lalu bagaimana dengan sawah? Siapa yang nanti akan
merawat sawah, Nak? Kamu tahu sendiri kalau bapak sudah tua.” lelaki kurus
berjanggut itu berusaha membangun tanggul di matanya. Ada yang akan jebol.
Di tengah malam, pertengkaran itu usai tanpa penyelesaian.
Juhaeri tak goyah oleh kata-kata ayah atau wajah sendu ibunya. Begitu kiranya pendirian
seorang laki-laki. Dan sekarang ia melangkah di atas reruntuhan sesuatu yang
dulu ia sebut tekad.
Jalanan kota seperti benang yang kusut dan tak
putus-putusnya. Hasil pintalan tangan-tangan udik. Kini Juhaeri sudah terbiasa
melihat semraut jalan, sudah kebal mendengar orang saling maki, bahkan otaknya
sudah bisa mencerna per-arah-an. Di sebuah halte bus, Juhaeri duduk bersama
angin. Mereka sama-sama lelah setelah berkeliling menawarkan tenaga. Ditengoknya
kabar langit. Entah di mana awan-awan main petak umpat.
Dipandanginya orang-orang yang
lalu-lalang itu. Apa bedanya aku dengan mereka, pikir Juhaeri. Juhaeri harus
tetap bertahan di sini. Kalau pulang ke rumah bapak, ia pasti akan merasa
menang. Ia akan menertawai kekalahan Juhaeri menaklukkan kota ini. Pikiran itu masih sama ketika ia meninggalkan kampung. “Tapi
apa yang harus saya lakukan sekarang? Mengapa saya tak seberuntung Ujang.
Bagaimana bisa setiap lebaran, dia pulang kampung dengan bawaan yang
bagus-bagus. Banyak pula.” hati kecil Juhaeri penuh tanya. Tapi apakah pertanyaan selalu
mencari jawaban? Kedua telapak tangan ia cermati. Apa ada yang salah dengan
garis tangannya? Mungkin sudah
beribu Juhaeri yang duduk di halte itu. Mereka adalah orang-orang udik yang
datang bermodalkan tekad dan angan-angan. Mereka kehilangan arah, karena baru
menyadari kalau garis tangan mereka begitu rumit. Sesaat kemudian bus menuju
arah pulang pun datang, Juhaeri langsung naik.
Setelah turun dari bus, Juhaeri langsung menuju sebuah
gang sempit. Bus pun melaju kembali layaknya predator mencari mangsa di rimba
raya. Ketika masuk mulut gang, Juhaeri terhentak kaget melihat anak-anak lari
keluar gang. Berteriak. Mereka seperti anak-anak tikus yang sedang dikejar seekor
kucing lapar. Anak-anak itu berlari sembari menengadahkan wajah mereka ke atas.
Mereka tidak saling beradu atau pun tersandung
batu, kaki-kaki mereka seakan mempunyai mata. Keingintahuan hati Juhaeri membuatnya
ikut menengadah, mencari tahu apa yang sebenarnya anak-anak itu kejar. “Oh,
ternyata layangan putus.” Di antara gerombolan itu, ada satu anak yang ia hapal
“Imam… Imam…”. Yang dipanggil hanya menoleh, tersenyum lalu berlari bersama
angin. Bersama kegembiraan kanak-kanak.
“Kejar terus mimpimu, Nak, sampai dapat. Setelah itu
terbangkan sampai tinggi.” Layangan adalah impian. Oleh karena itu muncul
pepatah terbangkan mimpimu setinggi langit, agar Tuhan tahu dan
mengabulkannya. Ia seolah tertelan ingatannya sendiri. Bersama teman-teman
sekampung dulu, Juhaeri membuat sendiri layangan untuk aduan. Mereka sering
bermain layangan di sawah yang halodo atau di lapangan bal
pinggir hutan.
Setelah berjalan cukup lama menyusuri gang-gang tikus, sampai
juga ia di rumah kontrakan yang nampak tidak kuat lagi menahan usia, pun menyaksikan
penghuninya menanggung beban hidup.
“Ipah…, Ipah…” pintu terus diketuk.
“Iya, Kang tunggu sebentar… saya sedang mencuci baju di
belakang” sesaat kemudian pintu dibuka. Dari dalam terlihat Sarifah mengenakan
daster basah tak karuan dengan rambut diikat ke belakang. Busa putih terlihat nyempil
di sela-sela jari kaki dan betis, juga sedikit di lengan dasternya.
“Gimana Kang hari ini, dapat kerjanya?” ditanya
seperti itu, Juhaeri hanya menggelengkan kepala. Sarifah tak banyak tanya lagi.
Hatinya harus belajar bersabar.
Juhaeri langsung masuk kamar, mengganti pakaiannya dengan
kaos oblong dan sarung. Kemudian mengarah ke dapur lalu masuk ke kamar mandi.
Sarifah segera menyiapkan makanan untuk suami tercinta. Sesaat kemudian Juhaeri
keluar dengan handuk di bahu. Rambutnya sedikit basah membuat wajah usang itu
terlihat lebih segar dan cerah. Ia duduk menghadap makanan yang dimasak
istrinya pagi tadi.
“Ipah, mana sayurnya? Kok cuma ada lauk
asin dan sambel” suara tersebut langsung menggema ke telinga Sarifah.
Sarifah bergegas hanya tersenyum.
“Aduh, Kang. Untuk hari ini itu saja dulu. Kalau beli
sayur, besok kita tidak bisa beli beras. Simpanan Ipah sudah dipakai semua
untuk ongkos Akang nyari kerja.” Sarifah berusaha tegar.
“Terus Imam sudah makan? Aku baru menyadari kalau Imam
kurusan. Akang melihatnya tadi sedang bermain sama anak-anak.” Ia sadar kalau
selama di kota ini, ia sibuk mencari lowongan kerja. Lupa akan anak
kesayangannnya itu.
“Sudah Kang. Imam sudah makan. Hanya saja ia selalu
mengeluh tentang lauk-pauknya. Setiap hari Ipah harus membujuknya agar mau
makan.” keluh Sarifah.
Tanpa harus berkata, Juhaeri tahu dalam hati istrinya
pasti sedih dan bingung. Ia pun harus tabah.
“Prioritas utama kita saat ini adalah Imam. Akang ridho
tidak makan, asalkan ia makan.”
“Apa tidak sebaiknya kita pulang ke kampung saja Kang?”
Hati Juhaeri serasa ditampar. Makanan yang dari tadi
dikunyahnya tiba-tiba saja terasa pahit. Tetapi ia telan juga rasa pahit itu.
Ingin rasanya ia menyerah pada nasib dengan pulang kembali ke kampung, tetapi harga
dirinya berkata tidak. Ia harus terus berjuang sampai nafas terakhir untuk
kebahagiaan istri dan Imam, anaknya.
“Biaya sekolah di sini mahal. Harus beli ini-itu. Kemarin
saja Imam disuruh beli cat air, katanya untuk pelajaran menggambar.” ada
kesedihan di mata Sarifah.
“Sabar ya, Pah. Akang yakin, akang bisa mendapatkan uang.
Akang yakin bisa membahagiakan kalian berdua. Hidup akang cuma untuk
kalian. Tapi, jangan sekali lagi pinta akang untuk kembali lagi ke rumah
bapak.” masih ada kesedihan di mata Sarifah.
“Tapi Kang...” banyak kesedihan yang akhirnya jatuh dari
mata Sarifah. Ia tidak bisa melanjutkan perkataannya.
Suasana menjadi begitu sunyi. Geraman mobil di jalan raya
serasa berhenti. Waktu memberikan mereka kesempatan untuk saling memahami diri.
Makanan sudah berasa entah, Juhaeri menyudahi saja. Tapi dunia tak mengizinkan
mereka berlama-lama. Seseorang mengetuk pintu depan. Begitu kasar. Begitu
tergesa-gesa. Sarifah membereskan pipinya dari air kesedihan sambil berjalan
menuju pintu.
“Iya, tunggu
sebentar.” pintu di buka. “Eh, pak Mardi. Maaf Pak, ada apa ya?” terisak-isak.
“Begini loh, Bu. Si Imam..., Imam, Bu..., Imam ketabrak
mobil..., di jalan depan gang.” memburu nafas. Habis berlari.
“Akaaanggg..., Imam Kang.” Sarifah jatuh tertahan pak
Mardi.
“Di mana sekarang Imam, Pak?” Juhaeri dari tadi nguping
di belakang langsung datang.
“Di... anu...,” pak Mardi berusaha membaringkan Sarifah
di bale-bale.
Ada yang mengatakan bahwa kota raya tak ubahnya rimba
raya. Semua makhluk buas tinggal di sana. Bersarang di pencakar langit dan
gedung hijau. Dan sekarang tanpa menunggu jawaban dari pak Mardi, Juhaeri
berlari masuk ke rimba raya. Mencari anaknya yang ditumbalkan kota raya.
Bandung,
2008