Selasa, 25 Oktober 2011

Ditumbalkan Kota Raya


Ditumbalkan Kota Raya

Ia berjalan gontai menantang kuasa hari. Tangannya begitu kuat menggenggam nasib yang terselip di map cokelat. Kemeja tak lagi menampakkan kerapihan setrika atau pun wangi sekedar minyak murah, yang dipakainya nampak seperti kertas koran yang sudah dibaca bertahun lalu. Kemeja itu didapat dari lemari ayah yang ia bongkar sewaktu mencari uang secara diam-diam. Kenangan itu sering masuk ke dalam kepalanya lalu menerjang hati. Perih. Sebenarnya ayah dan ibu tidak setuju apabila ia harus pergi. Apalagi harus memboyong istri dan anak semata wayangnya.
“Pokoknya saya akan tetap membawa Sarifah dan Imam bersama saya” Juhaeri bersikukuh.
“Apa kamu tidak tahu kalau hidup di sana itu sulit. Kalian mau tinggal di mana? Bagaimana dengan sekolah Imam?” cegah ayahnya. Ibu Juhaeri hanya bisa memeluk menantu dan cucunya yang ketakutan. Mereka bertiga duduk di bale-bale bersebelahan dengan kedua laki-laki yang sedang dicengkram ego.
“Bapak, tidak usah khawatir. Saya sudah mengontrak satu buah rumah di sana. Kalau sekolah Imam kan bisa diurus nanti kalau sudah pindah.” melontarkan alasan-alasan, tak mau kalah.
“Lalu bagaimana dengan sawah? Siapa yang nanti akan merawat sawah, Nak? Kamu tahu sendiri kalau bapak sudah tua.” lelaki kurus berjanggut itu berusaha membangun tanggul di matanya. Ada yang akan jebol.
Di tengah malam, pertengkaran itu usai tanpa penyelesaian. Juhaeri tak goyah oleh kata-kata ayah atau wajah sendu ibunya. Begitu kiranya pendirian seorang laki-laki. Dan sekarang ia melangkah di atas reruntuhan sesuatu yang dulu ia sebut tekad. 
Jalanan kota seperti benang yang kusut dan tak putus-putusnya. Hasil pintalan tangan-tangan udik. Kini Juhaeri sudah terbiasa melihat semraut jalan, sudah kebal mendengar orang saling maki, bahkan otaknya sudah bisa mencerna per-arah-an. Di sebuah halte bus, Juhaeri duduk bersama angin. Mereka sama-sama lelah setelah berkeliling menawarkan tenaga. Ditengoknya kabar langit. Entah di mana awan-awan main petak umpat.
            Dipandanginya orang-orang yang lalu-lalang itu. Apa bedanya aku dengan mereka, pikir Juhaeri. Juhaeri harus tetap bertahan di sini. Kalau pulang ke rumah bapak, ia pasti akan merasa menang. Ia akan menertawai kekalahan Juhaeri menaklukkan kota ini. Pikiran itu masih sama ketika ia meninggalkan kampung. “Tapi apa yang harus saya lakukan sekarang? Mengapa saya tak seberuntung Ujang. Bagaimana bisa setiap lebaran, dia pulang kampung dengan bawaan yang bagus-bagus. Banyak pula.” hati kecil Juhaeri penuh tanya. Tapi apakah pertanyaan selalu mencari jawaban? Kedua telapak tangan ia cermati. Apa ada yang salah dengan garis tangannya? Mungkin sudah beribu Juhaeri yang duduk di halte itu. Mereka adalah orang-orang udik yang datang bermodalkan tekad dan angan-angan. Mereka kehilangan arah, karena baru menyadari kalau garis tangan mereka begitu rumit. Sesaat kemudian bus menuju arah pulang pun datang, Juhaeri langsung naik.
Setelah turun dari bus, Juhaeri langsung menuju sebuah gang sempit. Bus pun melaju kembali layaknya predator mencari mangsa di rimba raya. Ketika masuk mulut gang, Juhaeri terhentak kaget melihat anak-anak lari keluar gang. Berteriak. Mereka seperti anak-anak tikus yang sedang dikejar seekor kucing lapar. Anak-anak itu berlari sembari menengadahkan wajah mereka ke atas.  Mereka tidak saling beradu atau pun tersandung batu, kaki-kaki mereka seakan mempunyai mata. Keingintahuan hati Juhaeri membuatnya ikut menengadah, mencari tahu apa yang sebenarnya anak-anak itu kejar. “Oh, ternyata layangan putus.” Di antara gerombolan itu, ada satu anak yang ia hapal “Imam… Imam…”. Yang dipanggil hanya menoleh, tersenyum lalu berlari bersama angin. Bersama kegembiraan kanak-kanak.
“Kejar terus mimpimu, Nak, sampai dapat. Setelah itu terbangkan sampai tinggi.” Layangan adalah impian. Oleh karena itu muncul pepatah terbangkan mimpimu setinggi langit, agar Tuhan tahu dan mengabulkannya. Ia seolah tertelan ingatannya sendiri. Bersama teman-teman sekampung dulu, Juhaeri membuat sendiri layangan untuk aduan. Mereka sering bermain layangan di sawah yang halodo atau di lapangan bal pinggir hutan.
Setelah berjalan cukup lama menyusuri gang-gang tikus, sampai juga ia di rumah kontrakan yang nampak tidak kuat lagi menahan usia, pun menyaksikan penghuninya menanggung beban hidup.
“Ipah…, Ipah…” pintu terus diketuk.
“Iya, Kang tunggu sebentar… saya sedang mencuci baju di belakang” sesaat kemudian pintu dibuka. Dari dalam terlihat Sarifah mengenakan daster basah tak karuan dengan rambut diikat ke belakang. Busa putih terlihat nyempil di sela-sela jari kaki dan betis, juga sedikit di lengan dasternya.
Gimana Kang hari ini, dapat kerjanya?” ditanya seperti itu, Juhaeri hanya menggelengkan kepala. Sarifah tak banyak tanya lagi. Hatinya harus belajar bersabar.
Juhaeri langsung masuk kamar, mengganti pakaiannya dengan kaos oblong dan sarung. Kemudian mengarah ke dapur lalu masuk ke kamar mandi. Sarifah segera menyiapkan makanan untuk suami tercinta. Sesaat kemudian Juhaeri keluar dengan handuk di bahu. Rambutnya sedikit basah membuat wajah usang itu terlihat lebih segar dan cerah. Ia duduk menghadap makanan yang dimasak istrinya pagi tadi.
“Ipah, mana sayurnya? Kok cuma ada lauk asin dan sambel” suara tersebut langsung menggema ke telinga Sarifah. Sarifah bergegas hanya tersenyum.
“Aduh, Kang. Untuk hari ini itu saja dulu. Kalau beli sayur, besok kita tidak bisa beli beras. Simpanan Ipah sudah dipakai semua untuk ongkos Akang nyari kerja.” Sarifah berusaha tegar.
“Terus Imam sudah makan? Aku baru menyadari kalau Imam kurusan. Akang melihatnya tadi sedang bermain sama anak-anak.” Ia sadar kalau selama di kota ini, ia sibuk mencari lowongan kerja. Lupa akan anak kesayangannnya itu.
“Sudah Kang. Imam sudah makan. Hanya saja ia selalu mengeluh tentang lauk-pauknya. Setiap hari Ipah harus membujuknya agar mau makan.” keluh Sarifah.
Tanpa harus berkata, Juhaeri tahu dalam hati istrinya pasti sedih dan bingung. Ia pun harus tabah.
“Prioritas utama kita saat ini adalah Imam. Akang ridho tidak makan, asalkan ia makan.”
“Apa tidak sebaiknya kita pulang ke kampung saja Kang?”
Hati Juhaeri serasa ditampar. Makanan yang dari tadi dikunyahnya tiba-tiba saja terasa pahit. Tetapi ia telan juga rasa pahit itu. Ingin rasanya ia menyerah pada nasib dengan pulang kembali ke kampung, tetapi harga dirinya berkata tidak. Ia harus terus berjuang sampai nafas terakhir untuk kebahagiaan istri dan Imam, anaknya.
“Biaya sekolah di sini mahal. Harus beli ini-itu. Kemarin saja Imam disuruh beli cat air, katanya untuk pelajaran menggambar.” ada kesedihan di mata Sarifah.
“Sabar ya, Pah. Akang yakin, akang bisa mendapatkan uang. Akang yakin bisa membahagiakan kalian berdua. Hidup akang cuma untuk kalian. Tapi, jangan sekali lagi pinta akang untuk kembali lagi ke rumah bapak.” masih ada kesedihan di mata Sarifah.
“Tapi Kang...” banyak kesedihan yang akhirnya jatuh dari mata Sarifah. Ia tidak bisa melanjutkan perkataannya.
Suasana menjadi begitu sunyi. Geraman mobil di jalan raya serasa berhenti. Waktu memberikan mereka kesempatan untuk saling memahami diri. Makanan sudah berasa entah, Juhaeri menyudahi saja. Tapi dunia tak mengizinkan mereka berlama-lama. Seseorang mengetuk pintu depan. Begitu kasar. Begitu tergesa-gesa. Sarifah membereskan pipinya dari air kesedihan sambil berjalan menuju pintu.
 “Iya, tunggu sebentar.” pintu di buka. “Eh, pak Mardi. Maaf Pak, ada apa ya?” terisak-isak.
“Begini loh, Bu. Si Imam..., Imam, Bu..., Imam ketabrak mobil..., di jalan depan gang.” memburu nafas. Habis berlari.
“Akaaanggg..., Imam Kang.” Sarifah jatuh tertahan pak Mardi.
“Di mana sekarang Imam, Pak?” Juhaeri dari tadi nguping di belakang langsung datang.
“Di... anu...,” pak Mardi berusaha membaringkan Sarifah di bale-bale.
Ada yang mengatakan bahwa kota raya tak ubahnya rimba raya. Semua makhluk buas tinggal di sana. Bersarang di pencakar langit dan gedung hijau. Dan sekarang tanpa menunggu jawaban dari pak Mardi, Juhaeri berlari masuk ke rimba raya. Mencari anaknya yang ditumbalkan kota raya.
                                                                                                                        Bandung, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar