Selasa, 25 Oktober 2011

Di Balik Nama Ragadiem, Antara Mitos dan Sejarah


Di Balik Nama Ragadiem, Antara Mitos dan Sejarah
(Sebuah Deskripsi Historis)

            Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten di selatan Jawa Barat. Kabupaten ini juga masih termasuk ke dalam wilayah Priangan timur beserta Bandung, Sumedang, dan Tasikmalaya. Selain terkenal dengan dodol yang khas dan sentra kulit, ternyata Garut menyimpan sejuta pesona alam yang indah. Mulai dari pegunungan berkawah yang menjulang, pantai yang landai dengan ombak biru, serta kota dengan bangunan indah yang didesain oleh kolonial tertata begitu apik. Lepas dari kekaguman saya pada kota tersebut, ada yang lebih menarik perhatian saya, yaitu cerita yang saya dengar tentang asal-usul nama daerah di kecamatan  paling timur kabupaten Garut, yaitu kecamatan Karangtengah. 
            Saya baru saja pulang dari KKN yang dilaksanakan oleh kampus selama 40 hari di sana. Keadaan alam yang berada di pegunungan membuat saya beserta kawan-kawan kelompok merasa betah tinggal di sana. Namun, di balik itu semua saya merasa takjub dengan sejarah daerah tersebut. Tak disangka, daerah terpencil seperti itu dapat menyimpan sejarah yang menakjubkan. Banyak cerita menarik yang saya dengar dari beberapa warga setempat. Cerita yang paling menarik adalah sejarah di balik nama-nama daerah di kecamatan Karangtengah tersebut. Dari semua cerita tersebut, saya membagi ke dalam tiga masa dan peristiwa.
            Pertama, pada masa pasca kemerdekaan dengan peristiwa DI/TII. Pada masa itu, kelompok DI/TII menginginkan pembentukan negera islam di Indonesia. Indonesia yang dilandaskan pada Pancasila jelas sekali bertentangan dengan tujuan pergerakan ini, karena keberagaman agama yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, pergerakan tersebut dilarang oleh pemerintah. Jelas sekali peristiwa ini berbau politik, dan yang namannya politik jelas sangatlah rumit. Kita tidak tahu mana yang benar dan salah karena dunia politik adalah abu-abu. Kembali pada topik kita, bahwa pergerakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Kartosuwiryo. Menurut, beberapa warga setempat daerah tersebut erat kaitannya dengan Kartosuwiryo dan pergerakan yang dipimpinnya itu. Bahkan kepala desa Caringin pada masa itu, salah satu desa di Karangtengah, kenal baik dengan Kartosuwiryo. Peristiwa tersebut memang tidak terkait pada asal-usul nama daerah tersebut, seperti apa yang saya ingin bahas. Namun, pergerak itu mengakar pada kehidupan sosial masyarakat daerah itu. Banyak warga yang memiliki paham seperti Kartosuwiryo, yang menginginkan Indonesia berlandaskan agama islam, namun tak seekstrim dia. Banyak “aliran” agama yang dianut oleh warga setempat. Semua itu sering kali membuat pertentangan dan perdebatan yang sengit terhadap masalah fikih. Di luar itu permasalahan itu, Karangtengah merupakan sebuah kecamatan yang islami. Banyak pondok pesantren berdiri di sana. Jelas sekali, masyarakat di sana masih memegang teguh agama yang diyakininya.         
             Kedua, masa kolonial dengan peristiwa pengasingan Cut Nyak Dien. Pada akhir abad 19 terjadi perang Aceh selama lebih dari 10 tahun. Pada akhir perang Aceh tersebut, seorang pejuang perempuan Aceh, Cut Nyak Dien, ditangkap dan diasing dari negerinya. Semua tahu dari buku sejarah bahwa Cut Nyak Dien diasingkan sampai meninggal dan dimakamkan di Sumedang. Namun, yang tak tercatat dalam sejarah adalah ketika diasingkan di Tanah Parahyangan (Sunda), ia tak sendiri. Ia ditangkap beserta pejuang Aceh lainnya, dan di tanah Sunda ini, ia beserta pengikutnya sempat melarikan diri ke daerah Garut, khususnya Karangtengah. Di Karangtengah, ia bersembunyi dan membuat markas di sebuah lembah yang terhalang oleh satu bukit. Tentara Belanda mengetahui tempat persembunyian tersebut lalu berniat untuk melakukan penyerangan. Saat tentara Belanda hampir mencapai kaki bukit tersebut, tentara Cut Nyak Dien menyerang mereka dengan panah yang dilontarkan dari puncak bukit tersebut. Maka, matilah semua tentara Belanda. Lalu karena tak mau kalah Belanda menyerang kembali tempat tersebut tak beberapa lama, Cut Nyak Dien pun mengalami kekalahan, kemudian lari ke daerah Sumedang sampai akhir hayatnya. Daerah tempat terbunuhnya bala tentara Belanda tersebut sekarang dinamai Ragadiem yang dapat diartikan tubuh-tubuh yang mati. Bukit yang digunakan sebagai benteng pertahanan tentara Cut Nyak Dien tersebut dinamai bukit Puncak Salam yang berarti puncak yang diberkahi. Sedangkan daerah yang dijadikan markas Cut Nyak Dien beserta pengikutnya dinamai Petinunggal (Peti = sebuah kotak penyimpanan; nunggal “tunggal”  = satu), karena pada waktu diasingkan Cut Nyak Dien hanya membawa satu buah peti yang entah isinya apa. Banyak mitos yang beredar di kalangan masyarakat bahwa peti tersebut berisi harta karun, dan sekarang terkubur bersama tubuh-tubuh pengikut Cut Nyak Dien yang terbunuh pada penyerangan Belanda yang kedua. Banyak warga yang sudah mencoba mencari harta karun itu dengan melakukan semedi (tapa) untuk mendapat wangsit di makam para pengikut Cut Nyak Dien yang terkenal angker itu, termasuk narasumber yang mengisahkan cerita ini. Ia mengaku tidak kuat karena begitu banyaknya godaan gaib, ia pun percaya belum ada yang kuat berlama-lama semedi di sana. Ada satu mitos lagi yang beredar di kalangan masyarakat tentang makam pengikut Cut Nyak Dien tersebut, yaitu jika tanaman di makam tersebut ditebangi, maka hutan di sekitar beserta kampung Petinunggal tersebut akan mengalami kebakaran. Hal ini pernah terjadi beberapa kali. Oleh karena itu saat ini warga Petinunggal (yang diduga keturunan para pengikut Cut Nyak Dien) tidak ada yang berani membersihkan tanaman yang tumbuh lebat dan menutupi area pemakaman tersebut, mereka biarkan pemakaman tersebut apa adanya bahkan sekarang sudah menyerupai hutan lebat.
            Cerita rakyat seperti dongeng atau mite biasa memiliki berbagai variasi cerita. Begitu pula dengan asal-usul nama Ragadiem. Di atas telah diceritakan salah satunya, namun ada sumber lain yang cukup menarik untuk dibahas. Dikisah ada seorang pangeran dari kerajaan Mataram memimpin pasukannya untuk menyerang kerajaan Galuh Padjajaran, namun mengalami kekalahan. Semua pasukannya dapat dibunuh oleh pasukan tentara kerajaan Galuh Padjajaran. Ia pun melarikan diri ke sebuah daerah di kaki bukit. Karena merasa malu atas kekalahannya, ia tak mau kembali ke istana. Ia menghabiskan masa hidupnya di daerah tersebut dengan bersemedi, mendekatkan diri pada Sang Hyang Widhi. Dari cerita tersebut Ragadiem berarti semedi atau tapa, juga dapat diartikan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan tak memikirkan keduniawian. Nama Ragadiem cukup istimewa bagi warga setempat, karena selain sejarah namanya, ternyata dari Ragadiem lahir beberapa tokoh penting. Warga setempat percaya keberhasilan tokoh tersebut tak lepas dari pangeran yang berasal dari kerajaan Mataram tersebut. Mereka meyakini keduanya merupakan keturunan sang pangeran. Itulah mitos yang berkembang di masyarakat. Kita jangan menelannya bulat-bulat karena biasanya sebuah cerita memiliki maksud dan amanat yang tersembunyi. Jika kita berpikir lebih jauh, cerita kedua ini memiliki kandungan filosofis Jawa. Ragadiem bukan hanya diartikan bersemedi atau bertapa, tetapi memiliki arti luas. Menurut saya, Ragadiem dapat berarti bekerja keras tanpa banyak bicara. Jika pun benar kedua tokoh itu merupakan keturunan sang pangeran, maka dapat disimpulkan bahwa sang pangeran menerapkan satu ajaran Jawa kepada keturunannya, yaitu bekerja keras tanpa banyak bicara. Tak heran jika kedua tokoh tersebut dapat sukses. Bukan karena ia keturunan sang pangeran semata, namun karena mereka mengamalkan ajaran leluhurnya. Satu pelajaran lagi yang dapat kita ambil dari cerita Ragadiem.
            Di luar dari itu semua ada satu hal yang masih jadi bahan pemikiran saya. Suatu hari salah satu dosen saya mengatakan bahwa tidak akan nama Gajah Mada, Hayam Wuruk atau Majapahit di daerah Sunda, baik itu nama jalan, bangunan atau tempat. Tentulah sejarah masa lalu dijadikan alasannya. Kita pasti pernah mendengar tentang Perang Bubat. Perang antara kerajaan Majapahit dan Padjajaran yang dipicu oleh kesalahpahaman antara sri patih Gajahmada dengan raja Sri Baduga. Perang yang terjadi di Bubat itu menewaskan seluruh rombongan kerajaan Padjajaran termasuk raja Sri Baduga beserta putrinya Dyah Pitaloka yang akan dinikahkan kepada raja Hayam Wuruk. Mungkin, kekecewaan atas pengkhiatan yang dilakukan kerajaan Majapahit ini akhirnya memunculkan dendam pada orang Sunda. Ternyata hal tersebut terbantahkan karena di desa Caringin terdapat sebuah daerah bernama Majapahit. Tidak banyak rumah dan bangunan berdiri di sana, hanya beberapa rumah dan dua buah sekolah dasar. Setelah saya mencari tahu bertanya kepada beberapa warga sekitar, diketahuilah bahwa dahulu daerah tersebut dijadikan tempat singgah sementara tentara Majapahit yang akan pergi ke kerajaan Galuh Padjajaran (Ciamis) dengan  tujuan menjemput rombongan  raja Sri Baduga dan Dyah Pitaloka sebelum terjadinya perang bubat. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa daerah itu merupakan makam pasukan kerajaan Majapahit yang gugur saat perang untuk menaklukan kerajaan Galuh. Tentunya hal tersebut harus diteliti lebih jauh oleh para arkeolog dan ahli sejarah. Saya berkeyakinan bahwa nama Majapahit tersebut muncul bukan tanpa alasan yang jelas. Ada nilai historis di sana. Apalagi lokasi daerah tersebut dekat dengan pusat kerajaan Galuh di Ciamis.
            

2 komentar:

  1. Ini ragadiem, desa cinta, karang tengah garut kan kang?

    BalasHapus
  2. Mau tanya...
    Ini kp.ragameteung ( ragadiem )
    Desa. cinta kec. Nangkapai kawedaan Cibatu
    Yg sekarang menjadi desa.cinta kec.karang tengah..
    Mau tanya apakah berdasarkan sejarah salah satu lurah desa cinta dahulu bernama Rh. Wirantadijaya...

    BalasHapus