Di Balik Nama Ragadiem,
Antara Mitos dan Sejarah
(Sebuah Deskripsi
Historis)
Kabupaten Garut merupakan salah satu
kabupaten di selatan Jawa Barat. Kabupaten ini juga masih termasuk ke dalam
wilayah Priangan timur beserta Bandung, Sumedang, dan Tasikmalaya. Selain
terkenal dengan dodol yang khas dan sentra kulit, ternyata Garut menyimpan
sejuta pesona alam yang indah. Mulai dari pegunungan berkawah yang menjulang,
pantai yang landai dengan ombak biru, serta kota dengan bangunan indah yang
didesain oleh kolonial tertata begitu apik. Lepas dari kekaguman saya pada kota
tersebut, ada yang lebih menarik perhatian saya, yaitu cerita yang saya dengar
tentang asal-usul nama daerah di kecamatan paling timur kabupaten Garut, yaitu kecamatan
Karangtengah.
Saya baru saja pulang dari KKN yang
dilaksanakan oleh kampus selama 40 hari di sana. Keadaan alam yang berada di
pegunungan membuat saya beserta kawan-kawan kelompok merasa betah tinggal di sana.
Namun, di balik itu semua saya merasa takjub dengan sejarah daerah tersebut. Tak disangka, daerah terpencil seperti itu dapat
menyimpan sejarah yang menakjubkan. Banyak cerita menarik yang saya dengar dari beberapa warga
setempat. Cerita yang paling menarik adalah sejarah di balik nama-nama daerah
di kecamatan Karangtengah tersebut.
Dari semua cerita tersebut, saya membagi ke dalam tiga masa dan peristiwa.
Pertama, pada masa pasca kemerdekaan
dengan peristiwa DI/TII. Pada masa itu,
kelompok DI/TII menginginkan
pembentukan negera islam di Indonesia. Indonesia yang dilandaskan pada
Pancasila jelas sekali bertentangan dengan tujuan pergerakan ini, karena
keberagaman agama yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, pergerakan tersebut dilarang oleh
pemerintah. Jelas sekali peristiwa ini berbau politik, dan yang namannya
politik jelas sangatlah rumit. Kita tidak tahu mana yang benar dan salah karena
dunia politik adalah abu-abu. Kembali pada topik kita, bahwa pergerakan DI/TII
di Jawa Barat dipimpin oleh Kartosuwiryo. Menurut, beberapa warga setempat
daerah tersebut erat kaitannya dengan Kartosuwiryo dan pergerakan yang
dipimpinnya itu. Bahkan kepala desa Caringin pada masa itu, salah satu desa di
Karangtengah, kenal baik dengan Kartosuwiryo. Peristiwa tersebut memang tidak terkait
pada asal-usul nama daerah tersebut, seperti apa yang saya ingin bahas. Namun,
pergerak itu mengakar pada kehidupan sosial masyarakat daerah itu. Banyak warga
yang memiliki paham seperti Kartosuwiryo, yang menginginkan Indonesia
berlandaskan agama islam, namun tak seekstrim dia. Banyak “aliran” agama yang dianut oleh warga
setempat. Semua itu sering kali membuat pertentangan dan perdebatan yang sengit
terhadap masalah fikih. Di luar itu permasalahan itu, Karangtengah merupakan
sebuah kecamatan yang islami. Banyak pondok pesantren berdiri di sana. Jelas
sekali, masyarakat di sana masih memegang teguh agama yang diyakininya.
Kedua, masa kolonial dengan peristiwa
pengasingan Cut Nyak Dien. Pada akhir abad 19 terjadi perang Aceh selama lebih dari 10 tahun. Pada akhir perang
Aceh tersebut, seorang pejuang perempuan Aceh, Cut Nyak Dien, ditangkap dan
diasing dari negerinya. Semua tahu dari buku sejarah bahwa Cut Nyak Dien
diasingkan sampai meninggal dan dimakamkan di Sumedang. Namun, yang tak
tercatat dalam sejarah adalah ketika diasingkan di Tanah Parahyangan (Sunda),
ia tak sendiri. Ia ditangkap beserta pejuang Aceh lainnya, dan di tanah Sunda
ini, ia beserta pengikutnya sempat melarikan diri ke daerah Garut, khususnya
Karangtengah. Di Karangtengah, ia bersembunyi dan membuat markas di sebuah
lembah yang terhalang oleh satu bukit. Tentara Belanda mengetahui tempat
persembunyian tersebut lalu berniat untuk melakukan penyerangan. Saat tentara
Belanda hampir mencapai kaki bukit tersebut, tentara Cut Nyak Dien menyerang
mereka dengan panah yang dilontarkan dari puncak bukit tersebut. Maka, matilah
semua tentara Belanda. Lalu karena tak mau kalah Belanda menyerang kembali
tempat tersebut tak beberapa
lama, Cut Nyak Dien pun mengalami kekalahan, kemudian lari ke
daerah Sumedang sampai akhir hayatnya. Daerah tempat terbunuhnya bala tentara
Belanda tersebut sekarang dinamai Ragadiem
yang dapat diartikan tubuh-tubuh yang mati. Bukit yang digunakan sebagai
benteng pertahanan tentara Cut Nyak Dien tersebut dinamai bukit Puncak Salam yang berarti puncak yang
diberkahi. Sedangkan daerah yang dijadikan markas Cut Nyak Dien beserta
pengikutnya dinamai Petinunggal (Peti
= sebuah kotak penyimpanan; nunggal “tunggal”
= satu), karena pada waktu diasingkan Cut Nyak Dien hanya membawa satu
buah peti yang entah isinya apa. Banyak mitos yang beredar di kalangan masyarakat
bahwa peti tersebut berisi harta karun, dan sekarang terkubur bersama
tubuh-tubuh pengikut Cut Nyak Dien yang terbunuh pada penyerangan Belanda yang
kedua. Banyak warga yang sudah mencoba mencari harta karun itu dengan melakukan
semedi (tapa) untuk mendapat wangsit di makam para pengikut Cut Nyak Dien yang
terkenal angker itu, termasuk narasumber yang mengisahkan cerita ini. Ia
mengaku tidak kuat karena begitu banyaknya godaan gaib, ia pun percaya belum
ada yang kuat berlama-lama semedi di sana. Ada satu mitos lagi yang beredar di
kalangan masyarakat tentang makam pengikut Cut Nyak Dien tersebut, yaitu jika
tanaman di makam tersebut ditebangi, maka hutan di sekitar beserta kampung
Petinunggal tersebut akan mengalami kebakaran. Hal ini pernah terjadi beberapa
kali. Oleh karena itu saat ini warga Petinunggal (yang diduga keturunan para
pengikut Cut Nyak Dien) tidak ada yang berani membersihkan tanaman yang tumbuh
lebat dan menutupi area pemakaman tersebut, mereka biarkan pemakaman tersebut
apa adanya bahkan sekarang sudah
menyerupai hutan lebat.
Cerita rakyat seperti dongeng atau
mite biasa memiliki berbagai variasi cerita. Begitu pula dengan asal-usul
nama Ragadiem. Di atas telah diceritakan salah satunya, namun ada sumber lain
yang cukup menarik untuk dibahas. Dikisah ada seorang pangeran dari kerajaan
Mataram memimpin pasukannya untuk menyerang kerajaan Galuh Padjajaran, namun
mengalami kekalahan. Semua pasukannya dapat dibunuh oleh pasukan tentara
kerajaan Galuh Padjajaran. Ia pun melarikan diri ke sebuah daerah di kaki
bukit. Karena merasa malu atas kekalahannya, ia tak mau kembali ke istana. Ia
menghabiskan masa hidupnya di daerah tersebut dengan bersemedi, mendekatkan
diri pada Sang Hyang Widhi. Dari cerita tersebut Ragadiem berarti semedi atau tapa, juga dapat diartikan mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta dan tak memikirkan keduniawian. Nama Ragadiem cukup
istimewa bagi warga setempat, karena selain sejarah namanya, ternyata dari
Ragadiem lahir beberapa tokoh penting. Warga setempat percaya keberhasilan tokoh
tersebut tak lepas dari pangeran yang berasal dari kerajaan Mataram tersebut.
Mereka meyakini keduanya merupakan keturunan sang pangeran. Itulah mitos yang
berkembang di masyarakat. Kita jangan menelannya bulat-bulat karena biasanya
sebuah cerita memiliki maksud dan amanat yang tersembunyi. Jika kita berpikir
lebih jauh, cerita kedua ini memiliki kandungan filosofis Jawa. Ragadiem bukan
hanya diartikan bersemedi atau bertapa, tetapi memiliki arti luas. Menurut
saya, Ragadiem dapat berarti bekerja keras tanpa banyak bicara. Jika pun benar
kedua tokoh itu merupakan keturunan sang pangeran, maka dapat disimpulkan bahwa
sang pangeran menerapkan satu ajaran Jawa kepada keturunannya, yaitu bekerja keras tanpa banyak bicara. Tak
heran jika kedua tokoh tersebut dapat sukses. Bukan karena ia keturunan sang
pangeran semata, namun karena mereka mengamalkan ajaran leluhurnya. Satu
pelajaran lagi yang dapat kita ambil dari cerita Ragadiem.
Di luar dari itu semua ada satu hal
yang masih jadi bahan pemikiran saya. Suatu hari salah satu dosen saya
mengatakan bahwa tidak akan nama Gajah Mada, Hayam Wuruk atau Majapahit di
daerah Sunda, baik itu nama jalan, bangunan atau tempat. Tentulah sejarah masa
lalu dijadikan alasannya. Kita pasti pernah mendengar tentang Perang Bubat.
Perang antara kerajaan Majapahit dan Padjajaran yang dipicu oleh kesalahpahaman
antara sri patih Gajahmada dengan raja Sri Baduga. Perang yang terjadi di Bubat
itu menewaskan seluruh rombongan kerajaan Padjajaran termasuk raja Sri Baduga
beserta putrinya Dyah Pitaloka yang akan dinikahkan kepada raja Hayam Wuruk. Mungkin,
kekecewaan atas pengkhiatan yang dilakukan kerajaan Majapahit ini akhirnya
memunculkan dendam pada orang Sunda. Ternyata hal tersebut terbantahkan karena
di desa Caringin terdapat sebuah daerah bernama Majapahit. Tidak banyak rumah
dan bangunan berdiri di sana, hanya beberapa rumah dan dua buah sekolah dasar. Setelah
saya mencari tahu bertanya kepada beberapa warga sekitar, diketahuilah bahwa
dahulu daerah tersebut dijadikan tempat singgah sementara tentara Majapahit
yang akan pergi ke kerajaan Galuh Padjajaran (Ciamis) dengan tujuan menjemput rombongan raja Sri Baduga dan Dyah Pitaloka sebelum
terjadinya perang bubat. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa daerah itu
merupakan makam pasukan kerajaan Majapahit yang gugur saat perang untuk
menaklukan kerajaan Galuh. Tentunya hal tersebut harus diteliti lebih jauh oleh
para arkeolog dan ahli sejarah. Saya berkeyakinan bahwa nama Majapahit tersebut
muncul bukan tanpa alasan yang jelas. Ada nilai historis di sana. Apalagi
lokasi daerah tersebut dekat dengan pusat kerajaan Galuh di Ciamis.
Ini ragadiem, desa cinta, karang tengah garut kan kang?
BalasHapusMau tanya...
BalasHapusIni kp.ragameteung ( ragadiem )
Desa. cinta kec. Nangkapai kawedaan Cibatu
Yg sekarang menjadi desa.cinta kec.karang tengah..
Mau tanya apakah berdasarkan sejarah salah satu lurah desa cinta dahulu bernama Rh. Wirantadijaya...